Jakarta – jejakberitaonline.com -Prevalensi gangguan irama (aritmia) di Indonesia terus meningkat. Salah satunya aritmia jenis fibrilasi atrium (FA). Teknologi terbaru, yakni PFA (Pulsed Field Ablation) diklaim lebih cepat menangani FA, lebih efektif, dan aman bagi pasien.
Lelaki berusia 65 tahun asal Sumatera Barat merasakan keluhan tak nyaman di dadanya. Dadanya berdebar dan mudah lelah. Pemeriksaan dokter jantung mendiagnosis ia mengidap gangguan irama jantung atau dalam bahasa medis disebut aritmia.
Dokter spesialis jantung dari rumah sakit jantung dan pembuluh darah Heartology Cardiovascular Hospital, Dr dr Faris Basalamah, SpJP(K) memaparkan, penyakit jantung merupakan penyebab utama kematian di Indonesia. Selain penyakit jantung koroner, gangguan irama jantung (aritmia) juga memberi kontribusi yang signifikan.
Dr Faris mengungkakan, aritmia yang paling banyak ditemukan di masyarakat adalah fibrilasi atrium (FA). Diperkirakan jumlah penderita FA di Indonesia mencapai lebih dari tiga juta penduduk, dengan prevalensi yang meningkat dengan semakin bertambahnya usia.
“Fibrilasi atrium adalah kondisi ketika serambi (atrium) jantung berdenyut sangat cepat dan tidak beraturan. Normalnya, jantung akan berdenyut sekitar 60-100 kali per menit saat kita sedang santai. Namun pada FA, serambi jantung bisa berdenyut lebih dari 400 kali per menit,” ungkap Dr dr Faris Basalamah, SpJP(K) yang juga menjabat Direktur Heartology Cardiovascular Hospital.
Kondisi ini tegas dr Faris, sangat berbahaya karena dapat meningkatkan risiko terjadinya penggumpalan darah dan gagal jantung.
“Penggumpalan darah yang terbentuk dapat mengakibatkan terjadinya stroke. Pasien FA mempunyai risiko 4-5 kali lipat terjadinya stroke dibanding pasien yang bukan FA. Selain itu, denyut serambi jantung yang super cepat dan tidak teratur meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung dan tentunya meningkatkan mortalitas pasien FA,” ujar dr Faris.
Faktor Risiko Aritmia
Apa yang menyebabkan aritmia? Ahli aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital Dr dr Dicky Armein Hanafy, Sp.JP(K), menjelaskan lebih jauh.
“Aritmia bisa terjadi karena berbagai faktor, termasuk kelainan struktur jantung, tekanan darah tinggi, gangguan tiroid, atau bahkan efek samping obat-obatan tertentu. Gejala aritmia yang sering dikeluhkan antara lain jantung berdebar (palpitasi), pusing, nyeri dada, atau mudah lelah,” jelas dr Dicky.
Sebelum terlambat, sangat penting melakukan deteksi dini aritmia. “Pemeriksaan seperti elektrokardiogram (EKG) atau monitor jantung Holter dapat membantu mendiagnosis aritmia sejak awal sehingga pengobatan bisa lebih efektif,” ujar dr Dicky
Teknologi PFA
Dr Faris memaparkan, tatalaksana fibrilasi atrium meliputi terapi obat-obatan (medikamentosa), kontrol faktor risiko, dan kateter ablasi. Pasien yang tidak mempan dengan obat-obatan, perlu dilakukan tindakan kateter ablasi untuk mencegah memburuknya fungsi pompa jantung (gagal jantung), menurunkan risiko stroke dan memperpanjang usia pasien.
Saat ini, kata dr Faris, ada pengobatan terbaru, yaitu teknologi PFA (Pulsed Field Ablation). “Heartology Cardiovascular Hospital menjadi rumah sakit pertama di Indonesia yang menggunakan teknologi Pulsed Field Ablation (PFA) dalam tatalaksana fibrilasi atrium. Sebagai rumah sakit yang berfokus pada tatalaksana kardiovaskular, kami selalu mengedepankan inovasi demi menempatkan kenyamanan dan keamanan pasien sebagai prioritas utama,” kata dr Faris.
“Kehadiran teknologi PFA di Heartology adalah langkah besar dalam dunia kardiologi untuk membawa layanan kesehatan jantung di Indonesia ke standar internasional. PFA memiliki keunggulan dibandingkan teknologi ablasi yang sebelumnya dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi dengan nilai keampuhan pengobatan setara terhadap pasien atrial fibrilasi yang persisten maupun non-persisten,” tambah dr Faris.
Dengan penerapan PFA, Heartology Cardiovascular Hospital, lanjut dr Faris, semakin memperkokoh posisinya sebagai pelopor dalam pelayanan kardiologi di Indonesia. “Teknologi ini menghadirkan harapan baru bagi pasien dengan gangguan irama jantung, sekaligus menegaskan komitmen rumah sakit untuk memberikan perawatan yang berbasis kebutuhan pasien,” kata dr Faris.
Ahli aritmia di Heartology, dr Sunu Budhi Raharjo, SpJP(K), PhD, menjelaskan, PFA merupakan salah satu kategori kateter ablasi (tindakan invasif minimal non-bedah) non-thermal yang bekerja melalui proses electroporation.
“Proses ini melakukan pengiriman gelombang listrik pendek yang membuka pori-pori membran sel sehingga jaringan yang ditargetkan dapat dihancurkan dengan aman tanpa mempengaruhi jaringan lainnya,” jelas dr Sunu.
Tatalaksana ini, lanjut dr Sunu, berbeda dengan ablasi thermal yang menggunakan energi radio frekuensi, yaitu energi panas untuk menciptakan lesi, atau energi krio (cryo) yang menggunakan energi dingin untuk membekukan jaringan.
“Karena sifat terapinya yang selektif seperti ini, maka tindakan ablasi dengan PFA ini lebih cepat, lebih efektif dan lebih aman bagi pasien,” kata dr Sunu.
Teknologi ini tidak hanya lebih aman dibandingkan metode ablasi konvensional, tetapi juga mempercepat waktu prosedur dan pemulihan pasien. “Ini berarti pasien dapat kembali menjalani aktivitas mereka dengan lebih cepat dan risiko komplikasi yang lebih rendah,” tegas dr Sunu.
Pada kasus penderita aritmia FA lelaki berusia 65 tahun di atas, akhirnya dilakukan tindakan PFA pada 28 Desember. Sebelumnya, pasien ini telah menjalani pengobatan FA di daerah asalnya selama beberapa tahun, namun aritmia (FA) nya belum sembuh.***)
Sumber : investor.id

By